Gelisah Sang Guru
Oleh : Supriyono
Guru yang sudah lulus sertifikasi (dan ber-SK) ternyata tidak serta merta bisa ‘tersenyum’ karena bakal menerima tunjangan profesi pendidik (TPP) sebesar satu kali gaji pokok sebagaimana diamanatkan UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
Malah sebaliknya, saat ini banyak guru sertifikasi yang gelisah. Apa pasal? Menurut Teguh Juwarno, staf khusus mendiknas, saat ini masih ada 28.108 guru di Jawa Tengah yang belum menerima TPP (Suara Merdeka, 9 Desember 2008). Menurutnya, kasus serupa juga terjadi di Sumatra Utara. Secara nasional angka kumulatifnya tentu semakin besar. Dan itu berarti semakin banyak pula guru di Indonesia yang didera kegelisahan. Lalu, bagaimana mereka bisa concern dalam mengajar kalau kondisinya demikian? Bahkan koordinator International Education, Aloesius Metieus, menegaskan gaji guru pengaruhi kualitas pendidikan (SM, 12 Desember 2008).
Padahal, dana TPP sudah tersedia sejak 2 Januari 2008 dan menurutnya TPP itu seharusnya sudah diterima sejak Mei-Desember dengan cara dirapel. Anehnya (baca: tragisnya) ada dugaan bahwa dana TPP dari pusat itu masih “ditahan” Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Tengah. Tentu pernyataan tersebut bukan bermaksud hendak lempar batu sembunyi tangan. Namun, pada hemat penulis, justru mencerminkan iklim keterbukaan dan akuntabilitas publik yang selayaknya diapresiasi bersama oleh pihak terkait, khususnya para penentu kebijakan.
Pertanyaannya adalah mengapa ditahan? Dan untuk apa ditahan? Sedangkan menurut aturan dan mekanisme, dinas pendidikan provinsi tidak berhak menahan dana TPP dengan alasan kurangnya persyaratan. Pasalnya, lembaga itu hanya berwenang untuk menyalurkan dana TPP tanpa harus melakukakan pengecekan persyaratan sertifikasi.
Jika demikian, berarti telah terjadi ‘missunderstanding’ salah satu pihak dalam merepresentasikan kewenangan yang telah diamanatkan kepadanya. Lepas dari persoalan itu, selayaknya masalah macetnya TPP bagi guru bersertifikasi tidak dibiarkan berlarut-larut dan segera diselesaikan tanpa harus mencari kambing hitam. Yang lebih bijak barangkali menjadikannya sebagai bahan evaluasi dan refleksi. Sebab, seperti telah dimahfumi, dana yang tidak terserap akan masuk ke kas negara lagi. Jika ini terjadi berarti komitmen pemerintah untuk memperbaiki nasib (baca: kesejahteraan) guru masih sebatas utopia dan untuk kesekian kalinya ‘korps pahlawan tanpa tanda jasa’ hanya diimingi janji-janji saja.
Saat inilah urgensi peran PGRI yang selalu berkomitmen memperjuangkan nasib guru dan menjadi semacam “penyambung lidah guru Indonesia” untuk menjembatani harapan guru yang masih terganjal. Semata-mata demi terangkatnya martabat guru dan kondusifnya kinerja guru yang telah tersertifikasi dalam mengemban tugas mulia: menyemai tunas-tunas bangsa demi hari esok yang lebih baik, tanpa harus digerogoti rasa gelisah karena kehilangan ‘hak’ yang sudah dengan susah payah diperjuangkannya.
Menggarisbawahi apa yang disampaikan Catunggo Sulistiyono bahwa Guru juga Manusia (SM, 9 Desember 2008), di akhir tulisan ini penulis kutip pernyataan tegas dan sarat makna dari Ho Chi Minh, bapak bangsa Vietnam, sebagai bahan refleksi dan kontemplasi bersama akan eksistensi guru yaitu “No teachers no education. No education no economic and social development”. Jadi, jangan biarkan sang guru gelisah!